Menanggapi Aneka Kontroversi
Soal Pembaptisan Bayi dan Kanak-Kanak
Oleh: F.X. Didik Bagiyowinadi,Pr
Aneka Keraguan dan Gugatan
Praktek Pembaptisan bayi dan kanak-kanak yang dilakukan Gereja Katolik dan Ortodoks, dan juga beberapa Gereja Protestan, sering mendapat gugatan. Sementara orangtua Katolik sendiri yang hendak membaptiskan anaknya pada usia dini, tidak jarang menjadi bingung manakala mendapat pelbagai pertanyaan yang bernada menggugat, seperti:
· Manakah dasar biblis/alkitabiah praktek Pembaptisan bayi dan kanak-kanak?
· Apakah hal ini bukan ciptaan Gereja Katolik pada masa kemudian?
· Bagaimana mungkin bayi dan anak-anak yang belum bisa mengakui imannya secara pribadi kepada Yesus dibaptis, bukankah semestinya yang dilakukan adalah: pewartaan – pengakuan iman – Pembaptisan seperti disarankan Mrk 16:16?
· Apakah Pembaptisan dengan penuangan air itu sah? Bukankah kita mesti dibaptis dengan cara dibenamkan seperti Tuhan Yesus dibaptis di Sungai Yordan?
· Mengapa Pembaptisannya tidak ditunda saja sampai dia bisa mengerti dan mengakui imannya akan Yesus Kristus?
· Apakah Pembaptisan bayi dan kanak-kanak ini tidak melanggar hak asasi manusia, bukankah sejak awal anak-anak seakan dipaksa mengikuti suatu agama?
· Apabila kemudian hari mereka menyesal dibaptiskan dan kemudian meninggalkan Gereja, siapa yang mesti dipersalahkan?
Demikianlah beberapa pertanyaan yang sering dilontarkan berkaitan dengan praktek Pembaptisan bayi dan kanak-kanak. Maka dalam bab ini kita akan mengulasnya secara singkat.
Indikasi biblis
Dimana bukti alkitabiah perintah atau praktek Pembaptisan bayi dan kanak-kanak? Dalam hal ini mesti ditegaskan: bukti eksplisit praktek Pembaptisan bayi dan kanak-kanak memang tidak ada. Tetapi juga harus diketahui, dalam Alkitab juga tidak ada larangan atas Pembaptisan bayi dan kanak-kanak. Dalam Perjanjian Baru kita bisa menemukan indikasi (bukti implisit) adanya praktek Pembaptisan bayi dan kanak-kanak, yakni ketika disebutkan bahwa Lidia (Kis 16:15), kepala penjara Filipi (Kis 16:33), dan Stefanus (1 Kor 1:16) dibaptis bersama “seisi rumahnya”. Dalam frase “seisi rumahnya” tersirat, seandainya di situ ada bayi dan kanak-kanak, tentu mereka akan dibaptiskan juga.
Mungkin Anda akan bertanya, bukankah mereka belum bisa beriman? Dalam hal ini iman mereka mengikuti iman kepala keluarga. Tindakan demikian juga merupakan ungkapan solidaritas dalam keluarga. Hal ini bisa kita bandingkan dengan praktek sunat bagi anak laki-laki Yahudi ketika mereka berusia delapan hari (Kej 17:12). Mereka juga belum bisa memilih dan mengerti, tetapi mereka ambil bagian dalam perjanjian Abraham.
Mengapa Pembaptisan dibandingkan dengan sunat lahiriah Yahudi? Sunat lahiriah Yahudi adalah tanda perjanjian Tuhan dengan manusia yang diterakan pada daging manusia (Kej 17:13). Melalui nabi Yehezkiel Tuhan menjanjikan adanya perjanjian baru yang tidak lagi diterakan pada daging, melainkan Roh Allah sendiri akan berdiam dalam hati manusia (Yeh 36:27). Maka St. Paulus menyebut Pembaptisan sebagai sunat rohaniah yang tidak dikerjakan oleh tangan manusia (Kol 2:11-12).
Kita juga bisa membandingkan Pembaptisan Kristen dengan pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir yang menyeberangi Laut Merah (lih. 1 Kor 10:1-4). Yang dibebaskan dan dibaptis “dalam awan dan dalam laut” itu tidak hanya orang dewasa, tetapi juga bayi dan anak-anak mereka. Maka dalam Pembaptisan “seisi rumah” berarti bayi dan anak-anak pun turut dibaptis.
Bagaimana dengan teks Mrk 16:16 yang mengandaikan urutan: pewartaan – pengakuan iman – Pembaptisan? Dalam hal ini kita mesti ingat bahwa pewartaan Injil pertama-tama ditujukan kepada orang-orang dewasa, sehingga mereka bertobat dan percaya setelah mendengar pewartaan, kemudian memberi diri untuk dibaptis. Berkaitan dengan anak-anak mereka, kita tidak bisa mengandaikan bahwa anak-anak dibiarkan menunggu dulu sampai umur bisa mengerti, baru kemudian dibaptis. Mengapa? Perjanjian Baru sendiri tidak memberi kesaksian adanya penundaan Pembaptisan bagi bayi dan anak-anak. Bahkan St. Petrus, dalam kotbah perdananya pada hari Pentakosta, menegaskan bahwa janji keselamatan dalam Yesus Kristus itu diperuntukkan bagi para pendengar yang notabene dewasa, tetapi juga bagi anak-anak mereka (Kis 2:38-39).
Perintah Tuhan Yesus dalam Mat 28:19-20a dalam teks asli bahasa yunaninya, kerja kata perintah hanya pada kata kerja: “jadikanlah murid”, sementara kata kerja pergi, membaptis, dan mengajar dalam bentuk partisip, bukan kata perintah. Maka alternatif terjemahannya adalah, “Karena itu pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku dengan membaptis mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan dengan mengajar mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepada-Mu.” Dengan demikian, membaptis dan mengajar melakukan segala perintah Tuhan Yesus adalah cara untuk menjadikan mereka menjadi murid Yesus. Teks ini sama sekali tidak menyebut tuntutan pengakuan iman pribadi sebelum pembaptisan. Maka dalam terang teks asli bahasa Yunani Mat 28:19-20a, pembaptisan bayi dan kanak-kanak dapat dilihat bahwa dengan dibaptiskan sejak dini, kanak-kanak ini sejak dini pula dijadikan murid Kristus yang selanjutnya akan terus diajar untuk melakukan segala perintah Tuhan Yesus.
Dalam konteks keseluruhan perintah Tuhan Yesus dalam Mat 28:18-20, terdapat empat kata sifat “semua” (Yunani: pas), yakni untuk kata “kuasa” (ay. 18), “bangsa” (ay. 19), “yang telah Kuperintahkan” (ay. 20a), dan “hari” (ay.20b). Di sini kita bisa melihat sifat universal dari perintah Tuhan Yesus. Maka bila ditanyakan, siapa yang harus dibaptis? Semua orang. Apakah hal ini mengecualikan bayi dan kanak-kanak yang belum mengerti? Tentu saja tidak. Semua saja diundang untuk menjadi murid Yesus. Keuniversalan perintah Tuhan Yesus ini dapat kita bandingkan pula dengan Markus 16:15 yang bahkan menyebut perlunya pewartaan Injil kepada semua makhluk/ciptaan, bukan hanya semua manusia!
Kesaksian Gereja awali
Bagaimana praktek Pembaptisan bayi pada masa Gereja awali? Joachim Jeremias, penulis The Origin of Infant Baptism, menyebutkan indikasi adanya Pembaptisan sejak usia dini dalam kesaksian Polycarpus (dimartir th. 167/8 M) yang “telah mengabdi Kristus selama delapan puluh enam tahun” dan dalam surat Polycrates dari Efesus yang dikirimkan ke Roma (th. 190/1 M) berkaitan dengan diskusi atas perayaan Paskah; dia menulis “telah enam puluh lima tahun dalam Tuhan”. Angka-angka tersebut menggambarkan bagaimana mereka telah dibaptis sejak dini. Demikian pula dari kesaksian St. Yustinus Martir, bahwa banyak orang dewasa laki-laki dan perempuan berusia enam puluh dan tujuh puluh tahun telah menjadi murid Kristus sejak mereka kanak-kanak.
St. Ireneus (120-202 AD) menulis:
Dia [Yesus] datang untuk menyelamatkan semuanya melalui Diri-Nya – semuanya, saya katakan, yang melalui Dia dilahirkan kembali dalam Tuhan, bayi, anak-anak, pemuda, maupun orang lanjut usia. Karena Dia telah melalui setiap jenjang usia, menjadi seorang bayi untuk para bayi, menyucikan bayi-bayi; menjadi seorang anak untuk anak-anak agar menyucikan mereka yang seumur Dia, dan pada saat yang sama menjadi bagi mereka contoh dalam kesalehan, kebenaran, dan ketaatan; menjadi pemuda bagi para pemuda agar menjadi teladan bagi kaum muda dan menyucikan mereka dalam Tuhan.
Ada juga kesaksian lain mengenai Pembaptisan bayi dan kanak-kanak, yakni dari:
· St. Hippolitus (170-236 M), menganjurkan, “Baptislah pertama anak-anak, dan seandainya mereka dapat berbicara untuk diri mereka sendiri, biarlah mereka yang melakukan (baca: menjawab). Seandainya sebaliknya, biarlah orang tua mereka atau famili lain yang berbicara untuk mereka.”
· Origenes (185-254 M), menyatakan, “Gereja menerima dari tradisi para rasul penerimaan baptis juga kepada bayi. Para rasul, yang kepada mereka dipercayakan rahasia-rahasia sakramen ilahi, mengetahui bahwa dalam diri setiap orang dari pembawaan lahirnya terdapat dosa, yang harus dibersihkan dengan air dan Roh.”
· St. Cyprianus, pemimpin sinode para uskup di Afrika Utara pada abad IV; dalam sinode itu menetapkan Pembaptisan bayi pada usia dua atau tiga hari kelahirannya dari kebiasaan penundaan Pembaptisan pada usia delapan hari (bdk. Tradisi sunat Yahudi).
Memang ada beberapa Bapa Gereja yang dibaptis pada usia dewasa, yakni St. Yohanes Chrisostomus, St. Gregorius Nazianze, St. Basilius Agung dan St. Hieronimus, kendati salah satu orangtua mereka Kristen. Penundaan Pembaptisan mereka lebih dimotivasi oleh pemahaman keliru pada masa itu, yakni: Dosa setelah Pembaptisan tidak akan diampuni. Maka penundaan Pembaptisan niscaya akan memperkecil kesempatan berbuat dosa setelah dibaptis. Kendati demikian, mereka juga tidak melarang ataupun mempertanyakan keabsahan Pembaptisan bayi dan kanak-kanak.
Dari bapa-bapa Gereja tersebut ada dua orang yang memberikan saran penundaan dari kebiasaan orangtua Kristen membaptiskan anak-anaknya, yakni Tertulianus dan Gregorius Nazianze. Tetapi Tertulianus menyarankan penundaan Pembaptisan bagi anak-anak dari orangtua yang tidak Kristen atau anak yang tanpa orangtua. Sementara Gregorius Nazianze menyarankan penundaan sampai usia tiga tahun dengan alasan supaya si anak bisa menjawab sendiri ketika ditanyai pada waktu Pembaptisan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa praktek Pembaptisan bayi dan kanak-kanak sudah ada sejak masa Gereja awali dan kemudian menjadi norma yang umum bagi seluruh Gereja setelah St. Agustinus (abad IV) merumuskan ajaran tentang dosa asal.
Pertanyaan Sebaliknya
Seandainya pembahasan di atas dianggap masih belum memadai oleh mereka yang menentang Pembaptisan bayi, kiranya pertanyaan sebaliknya bisa diajukan:
· Manakah dasar Alkitab adanya larangan Pembaptisan bayi dan kanak-kanak?
· Manakah rujukan Alkitab yang menyebutkan usia yang dianggap matang untuk menerima Pembaptisan?
· Jika Pembaptisan bayi dan kanak-kanak dianggap sebagai ciptaan Gereja di zaman kemudian, kapan hal itu dimulai dan oleh siapa?
· Mengapa tidak ada protes mengenai keabsahan Pembaptisan bayi dan kanak-kanak dalam Gereja awali?
· Manakah bukti adanya aturan penundaan Pembaptisan bagi bayi dan kanak-kanak dari keluarga Kristen dan bagaimana mempersiapkan Pembaptisan mereka?
Bukankah Bayi Belum Bisa Beriman?
Dari kesaksian Perjanjian Baru tentang Pembaptisan “seisi rumah” kita melihat bahwa Pembaptisan bayi dan anak-anak merupakan ungkapan solidaritas dengan iman kepala keluarga. Begitu juga dalam Pembaptisan bayi dan kanak-kanak dewasa ini, mereka dibaptis dalam iman Gereja. “Iman, yang dituntut untuk Pembaptisan, tidak harus sempurna dan matang; cukuplah satu tahap awal yang hendak berkembang” (KGK 1253). Dalam liturgi Pembaptisan, pada saat ritus penyambutan, imam bertanya: Apa yang Saudara minta dari Gereja Allah bagi Ananda? Orangtua menjawab: Iman.
Dalam Pembaptisan ini benih iman akan dianugerahkan kepada Ananda. Benih ini masih harus ditumbuhkembangkan lebih lanjut. Maka menjadi tugas orangtua dan wali-baptis untuk memelihara dan memupuk benih iman dalam diri Ananda sehingga bertumbuh kembang dan menghasilkan buah (bdk. KGK 1254-1255). Tanpa adanya harapan akan pendidikan iman lebih lanjut Gereja tidak akan membaptis Ananda.
Kita juga perlu mengingat arti sakramen sendiri, yakni tanda dan sarana kehadiran Tuhan untuk menyalurkan rahmat-Nya. Maka Pembaptisan itu bukan hanya tanda/ simbol bahwa Ananda percaya kepada Kristus; tetapi juga sarana Ananda menerima iman akan Kristus. Memang bayi dan anak-anak belum bisa mengakui imannya secara langsung, tetapi toh menerima rahmat Pembaptisan. Di sini kita justru bisa melihat bahwa rahmat keselamatan itu diberikan tanpa jasa kita (KGK 1250). “Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita” (1 Yoh 4:10a). Jadi, dalam iman Gerejalah Ananda akan dibaptiskan.
Haruskah “Baptis Pembenaman”?
Pembaharuan liturgi sejak Konsili Vatikan II memberi kemungkinan Pembaptisan dilaksanakan dengan dua cara (Praenotanda 22), yakni tiga kali dibenamkan di air atau dengan cara tiga kali kepala dituangi air sambil menyebut rumusan trinitaris (dibaptis dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus). Kedua cara Pembaptisan tersebut sama-sama sah. Baptis dengan cara dibenamkan memang lebih melambangkan bagaimana dalam Pembaptisan seseorang turut mati dan kemudian turut bangkit bersama Kristus (Rom 6:1-14). Demikian pula penanggalan pakaian lama sebelum Pembaptisan dan pengenaan pakaian baru setelahnya melambangkan lebih konkret penanggalan manusia lama dan pengenaan manusia baru (bdk. Kol 3:9-10).
Tetapi, haruskah Pembaptisan dilakukan dengan cara dibenamkan? Bukankah Yesus saat dibaptis pun “keluar dari air” (Mat 3:16), berarti seluruh tubuh-Nya dibenamkan? “Keluar dari air” tidak selalu berarti seluruh tubuh dibenamkan. Pembaptisan dengan pembenaman seluruh tubuh bukanlah satu-satunya cara yang sah untuk Pembaptisan. Filipus membaptis Sida-sida dari tanah Etiopia di jalan yang sunyi atau jalan padang gurun yang tentunya tidak mudah menemukan air untuk membaptis dengan cara dibenamkan (Kis 8:26-40).
Mari kita lihat kesaksian Didakhe, yakni kesaksian cara hidup Gereja awali yang ditulis sekitar th. 70 M. Didakhe bab 7 berbicara tentang Pembaptisan.
Baptislah dengan cara ini: setelah pertama-tama dijelaskan semua hal itu, baptislah dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus dengan air mengalir. Tetapi jika padamu tidak ada air mengalir, baptislah dengan air lain; dan jika kamu tidak dapat melakukannya dengan air dingin, lakukanlah dengan air hangat. Tetapi jika kamu tidak mempunyai keduanya, tuangkanlah air di atas kepala tiga kali dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Dan sebelum Pembaptisan, biarlah pembaptis dan yang akan dibaptis dan orang-orang lain yang bisa, berpuasa dulu; tetapi sebaiknya kamu meminta yang akan dibaptis untuk berpuasa satu atau dua hari sebelumnya.
Dari kutipan di atas memang ada pelbagai cara untuk membaptis, yang biasa memang dengan cara dibenamkan di air mengalir, misalnya sungai atau laut. Tetapi baptis dengan cara penuangan air di atas kepala, tetap dimungkinkan. Bila kita ngotot mesti baptis dengan cara dibenamkan, tentunya mereka yang mengalami demam hebat, sakit keras, dan luka parah habis kecelakaan, tidak bisa dibaptis.
Pembahasan lebih lanjut tentang kontroversi praktik pembaptisan bayi dan pemahaman liturgi pembaptisan bayi, bisa disimak selengkapnya dalam buku kami: Pembaptisan Bayi & Kanak-Kanak (Jakarta: Obor, 2011).